Monday, October 17, 2011

Sekedar Curhat Colongan....

Saya lelah. Saya lelah berdebat untuk hal yang tidak mungkin diubah. Saya lelah meyakinkan orang yang sudah memiliki prejudice, rasanya seperti berbicara kepada tembok. Saya lelah berjuang untuk hal yang bahkan tidak akan mempengaruhi kehidupan pribadi saya.

Ingin rasanya saya menjadi penurut. Ingin rasanya saya tidak mempersulit diri saya sendiri dengan melaksanakan apapun yang diperintahkan tanpa harus memikirkan konsekuensinya. Ingin rasanya saya bisa bersikap tidak peduli dan hanya melakukan hal yang menjadi tugas saya sebaik-baiknya, mendapatkan timbal balik atas pekerjaan saya, dan hidup tenang seperti yang dilakukan oleh beberapa rekan.

Namun, saya tidak bisa....

Am I Getting Involved Too Deep (personally)?

Why can't I just say: "It's your own risk. If you don't provide me the tools, don't blame me if I could not give you a valid reference for your decision" to them, instead of convincing them to provide me the tools?

Why should I get annoyed just because of this? Why couldn't I just tell them "I've reminded you, now that it happened, it was not my fault" in case something unwanted happened?

My life will not be ruined just because they uses an invalid reference. Decision can always be made regardless it is correct or not. Life goes on, all the consequences will be theirs, not mine.

Why can't I just tell them that I don't care? My life would be much easier, wouldn't it? I will be able to cross out almost half of my "to-do list" next year because of this. 

Still, my mind and heart tell me to fight. I do care. I do care if they do not get any valid reference for their decision. I don't want the consequencies to happen. In fact, I cannot stand still seeing them being in difficulties due to their own choices.

Is this what we call responsibility? Or am I getting too deeply involved personally?

Sunday, August 14, 2011

Saya, Sarjana Teknik Industri, dan HR

HR, Human Resources, suatu bidang profesi yang dikenal sebagai "wilayah"nya orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan psikologi. HR, yang karena selalu menjadi fungsi pendukung di suatu perusahaan, fungsi yang hanya menjadi cost center, bukan profit center, dianggap sebagai suatu fungsi yang kurang bergengsi.


Saya paham, alasan-alasan di atas sudah membuat tak terhitung jumlah teman, keluarga, dan kolega saya yang mengernyitkan dahi dan menanyakan alasan saya, yang adalah seorang sarjana Teknik Industri, memilih bidang ini sebagai profesi saya. Beberapa di antara mereka masih sering mengajak saya berdebat mengenai pentingnya keberadaan HR di suatu perusahaan, beberapa masih menganggap bahwa HR adalah suatu profesi yang "mudah" yang bisa dilakukan oleh siapapun, beberapa masih menyayangkan usaha yang saya lakukan untuk menjadi seorang sarjana teknik yang pada akhirnya "hanya" saya gunakan untuk menjadi seorang HR Person.


Saat itu, saya selalu menjawab keraguan mereka dengan beberapa jawaban andalan, yang salah satunya adalah HR adalah ilmu yang juga dipelajari di jurusan Teknik Industri (sewaktu kuliah, saya diwajibkan mengambil 2 sks mata kuliah Psikologi Industri). Saya juga selalu beranggapan bahwa pada dasarnya tidak ada satupun profesi yang tidak penting di suatu perusahaan. Apakah jawaban saya itu jujur? Apakah hati saya memang mengatakan demikian? Saya tidak tahu.


Pernah saya berdebat cukup keras dengan seorang sahabat. Dia adalah seorang yang selalu menyayangkan keputusan saya untuk menekuni bidang ini. Saat itu, saya menentang keras opininya. Apakah saya benar-benar sepenuh hati membela bidang profesi saya ini? Atau ini hanya ego saya yang tidak rela pekerjaan saya direndahkan? Saya tidak tahu.


Saya akui, pada awalnya saya memang ragu. Saya tidak yakin bahwa saya, yang sangat menyukai angka, statistik, dan analisis, bisa bertahan di bidang ini, bidang yang pada awalnya saya anggap lebih banyak menggunakan pendekatan dan analisis kualitatif dibandingkan dengan analisis kuantitatif. Mungkin, hingga saat ini, 3 tahun setelah saya menekuni bidang ini, saya masih belum bisa menjadi seorang HR person murni. Saat ini, saya lebih suka disebut sebagai seorang analis HR yang belum sepenuhnya berjiwa HR. 


Meskipun demikian, 3 tahun menekuni bidang HR telah mengubah pandangan saya terhadap 1 hal: tidak ada satu pun ilmu yang bisa kita anggap mudah, semua tetap membutuhkan usaha, pemahaman, dan kemampuan teknis yang mumpuni. 


Saat ini, saya sudah terbiasa dengan pandangan orang lain yang menganggap bidang yang saya tekuni adalah bidang yang mudah dan tidak membutuhkan pemikiran yang mendalam. Saya sudah terbiasa dengan orang-orang yang menganggap divisi HR di suatu perusahaan sebagai scape goat, kambing hitam, yang tidak populer jika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Saya sudah terbiasa dengan anggapan orang-orang yang, jika HR menghasilkan sesuatu yang menguntungkan mereka, berpikir bahwa sudah seharusnya HR melakukan itu, tidak perlu ada penghargaan. Saya anggap, semua hal ini adalah tantangan yang harus saya hadapi sebagai seorang HR person.


Saya beruntung, profesi saya sebagai seorang Compensation and Benefit Analyst memang menuntut saya untuk banyak bekerja dengan angka, statistik, grafik, serta melakukan penelitian dan analisis yang sebagian besar sifatnya kuantitatif. Tentu saja, saya sangat terbantu dengan pola pikir dan kebiasaan menganalisis yang terbentuk di bangku kuliah. Compensation and Benefit telah menjadi salah satu passion saya. Bagi saya, bidang ini memberikan saya tantangan baru setiap hari dan memaksa saya untuk memikirkan ide-ide baru setiap harinya. Bidang ini, juga sesuai untuk saya yang seorang idealis karena saya dituntut menjadi seorang regulator.


Satu tantangan terbesar saya di masa depan: menjawab keraguan saya terhadap diri sendiri. Apakah saya bisa bertahan, jika suatu saat saya harus berubah peran dari seorang Compensation and Benefit Analyst menjadi seorang HR Generalist, yang lebih banyak membahas masalah karir seseorang, atau seorang Personnel Administration Coordinator, yang lebih banyak menangani keluhan dari karyawan? Saya tidak tahu. Satu harapan saya, saya dapat belajar. Belajar untuk bertahan dengan hal-hal yang bukan hal favorit saya, dan yang paling penting, belajar menerapkan pola pikir yang saya miliki sebagai seorang Industrial Engineer untuk menghadapi tantangan tersebut dan menjadi seorang profesional di bidang yang saya pilih ini.


Dodo - Boulot - Dodo?

Have you ever heard the term "Métro - Boulot - Dodo" That's a common term to describe the life of Parisians. Métro: the subway train, one of the most popular transportation means in Paris. Boulot: informal word of work. Dodo: it's a baby-talk of sleeping. Therefore, in short, the term "Métro - Boulot - Dodo" is an interesting way to say that you live to work.




In my case, I can say that my life is almost like what the term "Métro - Boulot - Dodo" describes. However, since I live near my office and there is no subway train in Jakarta, it will be more suitable if I use the term "Dodo - Boulot - Dodo" for describing my current life. I spend approximately 12 hours of my Monday - Thursday and about 9 - 10 hours of my Friday working in my office.  


Do I enjoy this kind of life? It depends. I can still tolerate it now as I am working in a field that I like and I currently live alone. However, I don't want to "dedicate" my life for my job, especially in the future, when I have    my family waiting for me at home. I also still have some dreams to pursue and some hobbies to do. Still, the big question is, "When and how can I change this?"

Monday, July 25, 2011

A Letter to a Friend

Cher ami,


I wrote this letter a few months ago when finally the answers to my questions were revealed.


Mon ami,


It’s been years since the first time we met each other. I could still remember the situation that time clearly. That time, I didn’t even dare to think that it was not the ending of our story.

As time went by, we shared a lot of things. The stories about daily life, jobs, love, or even the debates, quarrels, and fights have filled out our days. Boyfriend, girlfriends, and crushes came and went away but our friendship remained. We promised to keep our friendship the way it was.

May I ask you one thing? Hmm… I’m not going to wait for your answer, I’ll ask it anyway.
Do you still remember that promise?
If yes, why don’t you do so?

I have made my decision. I have chosen my own way like you have chosen yours. Maybe you don’t agree with me, but it’s ok. The consequences are mine. Why do you change? Why did you reveal everything that should have remained unsaid (even if we knew it)?

Do you know? Our last meeting was so awkward. We were not comfortable with ourselves. I felt that, and I know you also did. However, one thing I learned from that meeting, I knew that I had made the right decision, at least for this time and hopefully forever.Well, all I ask from you is just this simple thing: “Please, don’t ask me for things I couldn’t do. Please respect my decision. Please be someone I know all these years”.

I am looking forward to our next meeting. Hopefully, it will be like our meetings before even if there might be more people to come. The more, the merrier, right?



Friday, July 22, 2011

Not a Girl, Not yet a Woman

A girl doesn't worry about her future, I do
A girl doesn't make serious future plan, I'm thinking of some near future scenarios
A girl fancies clothes, shoes, and bags. I'm imagining my first house and my future life there.

A woman puts her focus on her family, I still cannot picture myself being on that position.
A woman should be able to make difficult decisions on life. I hesitate a lot to make small decision about myself.
A woman never shows her emotion at public. I still have to learn to do that.
A woman would feel respected when she is called "Bu". I don't like being called "Ibu" by anyone.

So, who am I?

Monday, June 20, 2011

Écoutez-moi, s'il vous plaît?

Je comprends que je suis jeune. Mais, J'espère que vous voulez m'écouter. C'est simple, n'est-ce pas?